Biro Jasa Pengurusan Seritifkat Halal MUI Jakarta - Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Proporsi umat muslim di nusantara pun mendominasi dengan persentase lebih dari 70%. Maka dari itu, negara memiliki kebijakan untuk melindungi masyarakatnya dengan menjamin bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal sebagaimana yang disyariatkan oleh agama Islam.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam kebijakan hukum mengenai sertifikat halal pada produk. Pemerintah pun mengatur lebih lanjut mengenai sertifikasi halal melalui undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah lainnya.
Aturan Pemerintah tentang Sertifikat Halal
Khususnya dalam memberi jaminan produk yang halal, pemerintah bersama DPR pun telah menyusun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal).
Produk hukum ini kemudian dirincikan melaui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 tahun 2019 untuk memperjelas pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal di Indonesia.
Kehadiran negara dalam memberi kepastian hukum kepada masyarakat dalam hal jaminan produk halal merupakan hal yang sangat penting sehingga dapat memberi keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kepastian pada masyarakat. Selain itu, bagi para pengusaha, memiliki sertifikasi halal dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam mengonsumsi produk tersebut.
Adapun sertifikasi halal hanya diwajibkan bagi pengusaha yang mengklaim bahwa produk mereka halal. Bagi pengusaha yang memproduksi produk dengan unsur-unsur yang dianggap haram sesuai syariat Islam, maka mendapat pengecualian.
Meskipun begitu, produk yang dinilai haram tersebut juga perlu diberi keterangan tidak halal. Keterangan tidak halal yang dimaksud dapat dilakukan dengan memberi warna yang berbeda atau kontras pada bagian bahan yang dimaksud dalam informasi komposisi pada bungkus produk.
Pihak yang Mengeluarkan Sertifikat Halal
Sampai saat ini masih banyak masyarakat awam yang menganggap bahwa sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Faktanya, kini yang berwenang mengeluarkan dan mencabut sertifikat halal adalah Badan Penyelenggara Jaminan produk Halal (BPJPH).
Sebelum dikeluarkannya UU Jaminan Produk Halal, berikut adalah beberapa lembaga yang memangku kepentingan terkait kehalalan produk.
• Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga yang mengeluarkan fatwa halal sekaligus sertifikat halal.
• Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI adalah lembaga yang melakukan penelitian mengenai kehalalan sebuah produk yang didasarkan aspek ilmu pengetahuan.
• Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga yang memberi izin label halal sebuah produk.
• Kementerian Agama adalah lembaga yang membuat kebijakan dan melakukan edukasi serta sosialisasi terkait kehalalan produk kepada masyarakat.
Namun, ada perubahan pemangku kepentingan tersebut pada tahun 2014. Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah Menteri Agama dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama.
BPJPH pun diamanatkan sebagai pihak yang melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH) di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UU Jaminan Produk Halal seperti berikut.
• Pasal 1 Nomor 4
“Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.”
• Pasal 5 Ayat 1
“Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.”
• Pasal 6
“Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f. melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan registrasi Auditor Halal;
h. melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri d bidang penyelenggaraan JPH.
Kendati begitu, peran MUI dalam kaitannya dengan kehalalan sebuah produk di Indonesia tidak lantas hilang begitu saja. BPJPH dalam melakukan tugasnya juga dapat berkolaborasi dengan MUI sebagaimana dituangkan dalam beberapa pasal berikut.
• Pasal 7
“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.”
d. Pasal 10
e. Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk:
f. sertifikasi Auditor Halal;
g. penetapan Kehalalan Produk; dan
h. akreditasi LPH.
i. Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.”
Lebih lanjut, penjelasan mengenai fungsi MUI dirincikan dalam PP No. 31 Tahun 2019 pada Bagian Kelima mengenai Penetapan Kehalalan Produk seperti dalam beberapa pasal berikut.
• Pasal 76
• Penetapan kehalalan Produk dilaksanakan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI.
• Sidang fatwa halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh MUI Pusat, provinsi, MUI Kabupaten/kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
• Hasil penetapan kehalalan Produk berupa penetapan halal Produk atau penetapan ketidakhalalan Produk.
Berdasarkan beberapa poin di atas, dapat disimpulkan bahwa sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH. Adapun dalam hal proses hingga diterbitkannya sertifikat halal sebuah produk, BPJPH bekerja sama dengan MUI sebagai pihak yang menetapkan apakah produk tersebut halal atau tidak.
Prosedur Permohonan Sertifikat Halal
Seperti yang telah disebutkan, ada beberapa pihak yang terlibat dalam sertifikasi halal sebuah produk. Lalu, prosedur pelaku usaha memperoleh sertifikasi halal atas produk yang dimilikinya?
Untuk memahaminya, berikut adalah langkah-langkah mendapatkan sertifikasi halal.
• Pelaku usaha sebagai pemohon melakukan pengajuan permohonan sertifikasi halal ke BPJPH.
• BPJPH akan melakukan pemeriksaan dokumen tersebut dengan jangka waktu maksimal 10 (sepuluh) hari.
• Apabila dokumen dinyatakan sesuai dan lengkap sebagaimana yang disyaratkan, maka BPJPH menetapkan LPH berdasarkan penentuan pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
• LPH akan melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap produk yang diajukan dengan jangka waktu:
• 15 (lima belas) hari jika produk diproduksi dalam negeri dan dapat dilakukan perpanjangan paling lama 10 (sepuluh) hari.
• 15 (lima belas) hari jika produk diproduksi di luar negeri dan dapat dilakukan perpanjangan paling lama 15 (lima belas) hari.
• LPH melaporkan hasil pemeriksaan atau pengujian produk tersebut ke MUI dengan tembusan ke BPJPH sebagai dasar dikeluarkannya fatwa halal atau tidak.
• Sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH setelah fatwa MUI dikeluarkan dan berlaku selama 4 (empat) tahun.
Diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2014 menegaskan bahwa sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH, yakni lembaga yang berada di bawah Kementerian Agama dan bertanggung jawab terhadap Kementerian Agama.
Kendati demikian, BPJPH tetap bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk MUI yang berperan sebagai lembaga yang menetapkan fatwa atas halal atau tidaknya sebuah produk berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh LPH.
BSU Konsultan merupakan perusahaan konsultan dan sertifikasi yang fokus pada Peningkatan Kinerja Perusahaan, yakni Kinerja Bisnis, Mutu, Produktivitas, Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) dan Lingkungan. Servis lainnya berupa konsultasi dan training ISO 9001, ISO 14001, OHSAS 18001, IATF 16949, ISO 17025, ISO 13485, ISO 27001, ISO 50001, ISO 22000, GMP, AS 9100, AS 9120, dll.